Kalau ada yang bilang sejarah itu adalah mata pelajaran yang menyenangkan, imho, mereka ini adalah spesies unik. Iyes, unik.
Meski ga harus berkutat dengan rumus yang ngejelimet, mengingat kronologis sesuatu dengan detil bukanlah pekerjaan cetek. Eh tapi ada lho orang yang dianugerahi kemampuan mengingat hal-hal yang detil kayak begini.
Coba deh, kalau ada soal sejarah semisal menanyakan kapan Perang Paderi meletus dengan opsi tahun yang disediakan. Pengalaman saya sih kalau ga hitung kancing alias asal nebak, lebih sering tertukar. Beruntunglah, kalau jaman smp-smanya punya guru sejarah yang asik menjelaskan.
Bukan sesuatu hal yang gampang - menurut saya - untuk membuat seseorang jatuh cinta dengan mata pelajaran ini. Dulu, waktu SMA saya pernah dapat guru sejarah yang cara neranginnya enakeun. Out of the box. Sayangnya, cuma sebentar aja karena ada kebijakan sekolah yang merotasi guru untuk mata pelajaran yang sama.
Kalau ngulik sejarah dari teks book adalah tipe yang old school banget, mengulik dari novel atau menonton film adalah pilihan lain yang lebih menyenangkan. Meski lagi-lagi kepandaian penulis mengolah kata atau sutradara membesut film jadi alasan lain untuk membuat kita lebih mencintai atau setidaknya membuat kita sedikit lebih melek soal sejarah.
Beberapa waktu lalu saya dapat undangan nonton film Guru Bangsa: Tjokroaminoto yang dibintangi Reza Rahadian, almarhum Didi Petet, Christine Hakim, Sujiwo Tejo, Maia Estianti, Chelsea Islan dan deretan nama lainnya.
Mungkin waktu masih SMP atau SMA dulu, guru sejarah saya sudah pernah cerita siapa itu Tjokroaminoto. Tapi saya harus mengakui kalau yang nyangkut di ingatan adalah namanya diabadikan jadi nama jalan. That's it.
Tjokroaminoto ternyata more than a hero. He is a great teacher ever too. Meski punya murid, Muso yang akhirnya punya pemikirian nyeleneh dan mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI), Tjokroaminoto ini juga ternyata gurunya dari founder father, Soekarno! Nah lho, ke mana aja sih kamu, Efi?
Lebih kasiannya lagi, saya baru nonton film ini pas event peringatan Hari Film Nasional. Bukan pas tayang di bioskop. Secara pribadi, saya lebih suka peran Reza jadi Habibie dibanding film ini. Mungkin karena pengaruh soal genre yang populer dan alur cerita yang lebih mudah dicerna, ga barus banyak mikir.
Saya emang bukan movie goers yang rajin meluangkan waktu ke bisokop, dan ga ngefans amat sama Reza Rahadian, aktor yang ganteng ini. Eh tapi ada salah satu adegan yang saya suka.
Saya emang bukan movie goers yang rajin meluangkan waktu ke bisokop, dan ga ngefans amat sama Reza Rahadian, aktor yang ganteng ini. Eh tapi ada salah satu adegan yang saya suka.
Menurut saya bagian yang memperlihatkan Tjokro yang egaliter bukan ketika para rakyat kecil ketemu dan salim sebagai tanda hormatnya (itu sih, biasa dalam lingkungan priyayi), atau pidatonya yang menggelegar dan membakar semangat kalau penduduk pribumi bukan manusia seperempat. Bukan, bukan itu.
Ada adegan ketika seorang londo ngamuk-ngamuk karena pegawai pribumi salah menghidangkan teh, itu yang saya sukai. Imejnya sebagai sosok pahlawan yang egalitar tapi berwibawa terlihat kuat di sini. Ia bisa mengayomi dan menjawab perlakuan londo rese itu dengan jawaban cerdas tanpa harus main fisik dan penguaasaan emosi yang tetap tenang. Egaliter tapi tetap berwibawa. Dua sisi yang muncul dalam satu waktu yang sama.
Ada penyesalan lainnya yang harus saya akui karena telat menonton film ini. Dibawakan dengan dialog 3 bahasa, Jawa, Belanda dan Indonesia mestinya memperkaya 1-2 kosa kata baru saya sebagai penonton. Biasanya kan gitu, ya. Tapi kali ini saya kesulitan mengikuti keseluruhan dialog dalam film.
Saat dialog dibawakan dalam bahasa Jawa atau Belanda, layar akan menampilkan subtitle alias terjemahannnya. Berhubung layar di auditorium (waktu itu saya nontonnya di auditorium museum Sri Baduga), tidak maksimal menampilkan kualitas gambar, alias teksnya yang tampak ngeblur. Jadilah saya dibuat cukup baper selama 160 menit nonton.
Baper yang pertama, karena mengalami roaming lokal dan internasional. Saya ga ngerti kedua bahasa yang digunakan. Kedua, saya mengira mata saya semakin siwer. Sempat terpikir untuk tes mata lagi ke optik. Padahal perasaan sesiwer-siwernya mata, ukuran font di layar bioskop masih readable meskipun kebagian duduk di kursi penonton paling atas. Fiuh, ternyata sayanya kelewat baper, kesalahan bukan pada mata. Tapi memang ada masalah teknis, hihihi.
By the way, dialog dalam bahasa jawa ini, saya pikir salah satu cara sutradaranya memperkaya konten film. Bukan cuma tempelan gegayaan mengganti dialog dengan bahasa Jawa saja. Lagian, setting utama film ini memang menceritakan kehidupan Tjokroaminoto yang kental dengan feodalisme ala Jawanya pada saat itu.
Setelah film Aach Aku Jatuh Cinta, film Tjokro ini adalah film Indonesia kedua yang saya tonton di tahun 2016. Urutan nonton filmnya emang aneh karena kebalik, karena sebenarnya Guru Bangsa tayang di Bioskop tahun 2015.
Seperti juga film Ach, Aku Jatuh Cinta, sentuhan teatrikal, artistik dan detil di film ini bisa kita dapatkan. Kalau sabar memperhatikan, tarian, lagu dan kostum khas jawa atau ala-ala londo dan lagu-lagunya serta pesan moral yang disampaikan cukup menarik.
Karakter Tjokro yang egaliter ini juga menceritakan sisi lain tentang persamaan hak. Kegalauan seorang noni Belanda yang diperan kan oleh Chelsea Islan karena memiliki identitas setengah-setengah. Setengah belanda setengah jawa membuatnya mengalami krisis percaya diri tapi tetap menyimpan harapan.
Walau galau mempertanyakan masa depannya pada sang guru bangsa, Chelsea masih bersemangat menceritakan mimpi-mimpinya pada Bagong, laki-laki cebol yang setia mendengarkan celotehannya. Dibanding Pevita Pearce di film AAJC, yang memerankan sosok gadis manja dan cemen, saya lebih suka peran Chelsea di sini.
Walau galau mempertanyakan masa depannya pada sang guru bangsa, Chelsea masih bersemangat menceritakan mimpi-mimpinya pada Bagong, laki-laki cebol yang setia mendengarkan celotehannya. Dibanding Pevita Pearce di film AAJC, yang memerankan sosok gadis manja dan cemen, saya lebih suka peran Chelsea di sini.
Ada juga sosok figuran yang mencuri perhatian. Seorang abdi dalem mbok-mbok (duh siapa sih, namanya) yang selalu pake kemben ini juga keren dan bisa mencuri perhatian. Pelayan yang satu ini doyan ngomel ga jelas. Belum lagi suaranya kayak volume radio yang distel maksimal. Mungkin sosok ini cuma rekayasa, ga seperti Mbok Tun yang memang diceritakan dalam sumber sejarah lainnya. Tapi, si mbok ini punya kekhasan nada bicara dan lengkingan suara yang bikin kita ngikik. Itu cukup epic, lumayan biar ga ngantuk.
Karena film ini sudah lama hiatus dari layar lebar XXI, saran saya jangan abaikan kalau nantinya tayang di stasin tv. Entah kapan itu :). Selain menikmati peran total dari para aktor dan aktrisnya, mengenal sedikit lebih banyak tokoh sejarah meski cuma sekelebatan dari film itu lebih mending daripada enggak sama sekali. Ya, kan?
Masa sih, kita lebih familiar sama masa lalu Batman atau Superman tapi menggelengkan kepala ketika ditanya sosok pahlawan lokal kita yang beneran ada, bukan rekayasa atau khayalan. Ah iya, ini juga pr buat saya, kok.
Masa sih, kita lebih familiar sama masa lalu Batman atau Superman tapi menggelengkan kepala ketika ditanya sosok pahlawan lokal kita yang beneran ada, bukan rekayasa atau khayalan. Ah iya, ini juga pr buat saya, kok.
Reza Rahardian itu selalu bermain apik. Entah kenapa selalu kepicut ama akting dia. Tapi sayangnya akting dia di film ini belum sempat aku tonton. Makasih reviewnya ya, mba
ReplyDeleteFilm Indonesia yang tayang di bioskop tayangnya rata-rata sebentar mak. Keburu diganti film lain (lokal atau luar negeri). Sayang, banyak yang ga mudeng film ini, ya. Padahal yang main si ganteng maut Reza Rahadian.
DeleteWah, Reza Rahardian ya yang main.
ReplyDeleteSaya suka aktingnya.
Saya juga belum terlalu kenal dengan HOS Cokroaminoto. Bagus ada filmnya, jadi bisa belajar sejarah dengan cara menyenangkan.
Nah ternyata aku ada temen yang belum ngeh siapa itu HOS Tjokroaminoto hihihi. Kok malah seneng, ya?
DeleteCoba guru-guri kita ngajak kita belajar sejarah dari film, ya.
Lezatttt
ReplyDeleteAhiw, jadi lapar baca komentarnya Kang Ali. :)
Deletebaru tau ada film ini.. pastinya bagus ya, apalagi ada Reza Rahadian dan Chelsea Islan yg ganteng dan cantik, enak dipandang :-)
ReplyDeleteApa lagi durasinya 160 menit, puas deh nonton aktingnya Reza Rahadian, Mak :)
DeleteAku udah nonton film ini waktu ada nobar sama para aktivis Salman (padahal aku bukan) :D. Aku suka juga ngulik sejarah, tapi kalau caranya ala sekolahan dulu ya susah juga, pelupa sih. Aku menghargai film2 yg berusaha mengangkat tema sejarah, terlepas dari kekurangan yg ada.
ReplyDeleteHihi sama auh Euis. AKu juga payah kalau disuruh ngapalin ala-ala sekolah mah. Yuk, nonton film kayak gini lagi.
DeleteAaaa belum nonton teeh.. Seru ya film indonesia yang satu ini, sejarahnya dapet. Reza Rahadian sih emang selalu berhasil akting jadi apa aja yang dimainkannya ya
ReplyDeleteKomplit dia mah, ya. Total berakting dan punya anugerah muka ganteng. Ayo racuni aku lah biar ngefans sama dia. *lho?*
Deletebelum sempet nonton :( emang kak Reza Rahardian ini sellau totaliatas dalam berakting, sekan bisa membuat penontong masuk ke dalam cerita
ReplyDeleteIya, gimana ga hanyut, dia serius banget risetnya. Bikin aktingnya beneran total.
Deleteselalu suka sama akting Reza Rahadian *jempol*
ReplyDeletejadi penasaran pengen nonton filmnya, apalagi ada Chelsi Islan :)
Mudah-mudahan segera tayang di tv ya, mbak :)
DeleteDuh idola saya main lagi nih hmm jadi pengen nonton nih.
ReplyDeleteWah ada juga cowok yang ngefans sama dia. Kirain cewek semua hehhehe. Eh tapi emang dia mah aktor nasional yang keren, ya.
Deletezaman sekolah dulu yg paling ngeselin dari sejarah mesti ngapalin tahun2nya itu Teeeh,ih pikasebeleun da. soalnya aku suka sejarah secara keseluruhan, tapi ga bisa mengingat detail *apalah* hihihihi
ReplyDeleteDan paling geuleuh kalau nilai ulangan kita kecil gara-gara kesandung di pertanyaan yang berbau kronologis gitu ya, Oyin :D. Hihihi tosss dulu sesama ingatan tanggal/tahun yang payah *meni bangga*
DeleteBeruntungnya kita karena saat ini makin sering film nasional mengangkat tema sejarah
ReplyDeleteIya nih, Innayah. Masa sama sejarah sendiri ga ngeh, ya.
DeleteGuru bangsa.. sang murobbi.. sosok idolaku mak.
ReplyDeleteTiap orang punya sosok guru dan pahlawannya sendiri, ya, mbak?
DeleteTiap orang punya sosok guru dan pahlawannya sendiri, ya, mbak?
DeleteKatanya kalau mau awet harus punya pasangan arkeolog atau sejarawan. Makin tua makin dicintai #eh
ReplyDeleteHalah, tapi jangan sampai menunjukkan kecintaan dengan cara memajang kita di museum ya, mas :D
DeleteHalah, tapi jangan sampai menunjukkan kecintaan dengan cara memajang kita di museum ya, mas :D
DeleteAda figuran yang menarik perhatian, berarti figurannya sukses yo teh Efi
ReplyDeleteKarakter figuran yang unik kalau dimainkan secara total bisa jadi pencuri perhatian. Aku ngefans sama si mboknya hehe
DeleteReza lagi yg main, ah dia mah pinter bermain karakter, jagonya
ReplyDeleteIya, Mbak. Dia mah aktor multi talent. Suka sama totalitasnya.
DeleteAh reza.. dia bs jd tokoh apa saja dgn luar biasa.. seolah2 pny wajah yg netral bs mirip tokoh siapa aja hehehe aku ga sempet nonton. Alhamdulillah ada review nya..
ReplyDeleteIya, sampai gaya ngomongnya pun dia bisa niru dan mirip. Keren dia. Coba cari dvdnya mbak hehehe
DeleteDuhhh Reza Rahardian tuh ketje banget klo acting, film ini buat kita jadi makin cinta pahlawan juga.
ReplyDeleteNah kalau aktornya kece meraninnya mestinya banyak yang makin ngeh sama profil pahlawan, ya.
Deletereza rahardiaan :D
ReplyDeletepasti bagus ini filmnyaa
Bagus, mbak. Apalagi sutradaranya Garin Nugroho.
DeleteFilm sejarah memang selalu menarik, saya nonton film Tjokroaminoto di bioskop, sengaja bersama anak saya yang waktu itu masih kelas 2 SD...setidaknya menjadi alternatif belajar sejarah, mengenal perjuangan bangsa Indonesia sejak dini, meski dalam beberapa adegannya dialog terasa monoton.
ReplyDeleteIya dialognya emang agak kurang tapi seting dan detil lain kayak tentang budaya jawa yang diangkat di film ini bisa menutupi kekurangannya.
Delete