“Bisa pesan pizzanya?” sebuah suara
lembut menyapa di sebrang sana. Entah
harus tertawa atau
sebal, ini bukan kali pertama buat Samy menerima telepon
semacam ini. Nomor telepon rumahnya memang
hampir mirip dengan nomor
hotline pesan antar pizza.
Dan telepon yang sekarang
ini adalah pesanan untuk ke
100 kalinya. Harus dirayakan, nih. Pecah
telur! Samy tertawa geli sambil memainkan kabel telepon.
“Halo?” sebuah sapaan lembut dis sebrang
sana. Samy sudah
ngacangin si pemesan selama
dua menit berlalu.
Credit: compassbusiness.co.nz |
“Eh,, ya... maaf mas, salah sambung?”
“Lho,
bukan? Salah sambung?”
suara lembut itu terdengar lebih mirip mengulang sekaligus tidak percaya.
“Masnya
lihat deh layar ponselnya, bukan kok.”
“Ya ampun!”
Samy tertawa lagi.
Lima menit berikutnya obrolan itu ternyata masih berlanjut. “Terimakasih,
sampai nanti.”
***
“Sen,
bisa enggak sih, berhenti
ngetiknya?” Samy cuek menekan
tombol power Off. Sena mendongak,
menatap layar laptopnya
yang berubah hitam. Dua halaman laporan ekspedisi yang sudah diketiknya
menguap, belum sempat tersimpan.
“Sam, maafkan sudah nyuekin kamu,” Sena menutup layar laptopnya. Ditatapnya wajah Samy yang manyun
karena sebal cowok
berwajah mulus bak
pualam itu lebih mesra
menekuri pekerjaannya. Rasa rindu
Samy yang tertahan sebulan ini hanya
diisi untuk menemani cowok berwajah oriental itu
hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya? Samy merutuk dongkol dalam hati.
“Kamu
bela-belain mampir ke Bandung buat ketemu aku kan? Bukan membereskan
laporan seperti ini,” Samy masih manyun
sambil mengetuk-ngentuk
cangkir kopinya yang mulai dingin. Sena tidak bisa
membayangkan wajah judes nona manis ini
yang dulu begitu ramah menyapanya di telpon.
Di luar
sana gerimis semakin menderas.
Aroma pterichor yang menyelinap
dari sela-sela jendela hotel merayu aroma kopi berkonspirasi, menggoda Samy dan Sena
menjeda keheningan untuk menyesap kehangatannya.
“Aku
makin suka lihat kamu lagi manyun gini,
Sam. Makin cantik aja,” goda Sena gombal.
Samy meleletkan lidah.
“Habiskan kopinya, kalau udah
dingin billingnya bengkak.”
Samy mengangkat alis,
mirip ulat bulu yang menjengit
kepanasan. “Kok bisa?”
“Kopi dingin lebih mahal dari panas
Sam.”
Samy
mengulurkan tangan, mencubit pinggang
Sena sampai membuat sedikit kegaduhan, membuat beberapa
pasang mata melirik ke pojok
tempat mereka duduk.
Sena menggamit lengan Samy. “Pindah yuk? Di sini kita jadi artis.”
***
Sena
adalah mahluk paling sabar dan paling kalem yang pernah Samy temui. Tapi tidak hari ini.
Gilirannya Sena yang protes. Samy paling sebal dengan wajah dingin Sena dengan
tatapan menusuknya yang
membuat Samy mati
gaya. Bingung harus melakukan apa.
“Maafkan aku, Sen,” rajuk Samy.
“Sam, kamu keterlalun,” jawab Samy
pendek.
Samy memeluk pinggang Sena dengan
manja, lalu berbisik pelan, “ Maafkan aku Sen. Aku enggak bakalan
lagi telat seperti ini. Kamu kan tahu kalau dosenku hari ini galak
banget. Aku enggak mau ngulang
mata kuliahnya. Ayolah, senyum
dong. Kamu jelek banget kalo mematung kayak gini,” Samy belum mau melepaskan lengannya. “Hari ini hari kuliah terakhir.
Jadi aku janji enggak akan telat lagi.”
Rayuan Samy meluluhkan hati Sena. Dilepaskannya rangkulan Samy lalu mengacak-ngacak rambut gadis cantik itu. “Aku kangen kamu, Sam.”
Rayuan Samy meluluhkan hati Sena. Dilepaskannya rangkulan Samy lalu mengacak-ngacak rambut gadis cantik itu. “Aku kangen kamu, Sam.”
***
“Sampai kapan kita harus seperti
ini Sam?
Aku enggak nuntut banyak sama kamu. Kita
masih bisa jalan bareng kan, Sam?” Sena mengusap punggung tangan Samy.
Sukses membuat perut Samy semakin mulas. Mulutnya menelan ramen setengah hati. Harusnya Makan siang
kali ini terasa nikmat. Harusnya setelah
ujian tadi semua rasa lapar dan rindunya terbayarkan sekaligus. Kalau saja Sena tidak
mengajaknya ngobrol seserius ini.
“Bukankah kamu pernah bilang ingin menghabiskan waktu denganku?”
pertanyaan berikutnya lebih mirip
mantra yang membangkitkan ribuan
kupu-kupu dalam perut Samy. Kalau saja dulu
telpon salah sambungnya Sena diabaikan saja, lamun Samy dalam hati.
Satu, dua, tiga. Detik berikutnya, Samy memaksa wajahnya untuk mendongak, menatap
wajah lembut Sena yang masih
menanti jawaban.
“Sam?” tegur lembut Sena.
. Ya Tuhan, Samy tidak pernah mengira jatuh cinta itu akan menyakitkan seperti ini.
“Kamu
enggak harus pindah agama. Begitu juga denganku. Kita masih bisa jalan masing-masing,” Sena seakan memahami kegalauan Samy.
Samy melepaskan genggaman tangan
Sena perlahan. Kali ini kepalanya
menelungkup di atas meja. Tidak peduli dengan suasana kafe yang ramai dengan dengungan pengunjung
sore itu. Belaian lembut Sena di kepalanya semakin
membuat bahunya terguncang.
“Maaf
kalau aku membuatmu sedih, Sam. Please,
ngomong dong.”
“Aku mau pulang, Sen.”
***
Stasiun Bandung, jam 3 sore
“Jadi
bagaimana?”
Kali ini
raut wajah Samy terlihat lebih
cerah meskipun wajahnya masih digelayuti mendung. Sungguh, Sena belum siap dengan jawaban yang akan didengarnya hari ini. Andai ada keajaiban dalam satu jam ke
depan, bisiknya sambil melirik jam kafe stasiun.
“Sen,
kalau ada satu laki-laki yang membuatku berharap untuk tumbuh tua bersama, itu pasti kamu,” Samy menekan
nada bicaranya. Berusaha untuk
tetap tenang.
“Tapi Sen...,” Samy menghela nafasnya, mengumpulkan
ketegarannya membentuk tanggul dalam hatinya agar tidak jebol.
“Aku enggak mau hanya tumbuh tua bersama. Aku
ingin bersama dengan laki-laki itu juga setelah aku atau dia mati. Aku
mau bersama dengannya bukan hanya di dunia
saja. Aku harap itu kamu, Sen. Aku ingin bersama di sini dan nanti. Kalau saja
bukan karena kita berbeda....”
Bujukan Sena untuk tetap
bertahan dengan keyakinan sendiri, tidak mengusik dan memaksa yang lain berpindah
tempo hari masih terekam jelas
dalam benak Samy. “Kita masih
bisa bersama, Sam”
“Maaf, Sen. Aku lebih memilih Tuhanku.”
Hanya hening yang menggantung.
Kali ini tidak ada yang berani menatap, hanya dua kepala yang
saling tertunduk dalam diam. Sena dan Samy benci sepi. Tapi mereka lebih benci lagi karena tidak tahu harus memecah keheningan seperti ini. Mengapa harus sekarang?
Detik berikutnya, tanpa komando, Sena dan Samy kembali
bersitatap. Ada luka yang mengintip di
bola mata keduanya, hingga kemudian hanya buliran bening yang jatuh menderas dan isakan yang tertahan.
“Setelah
ini, aku mau
mengganti nomor ponselku. Tolong jangan menelpon ke rumah atau
mencariku.” Samy menggigit bibirnya.
Matanya terasa perih. Ya Tuhan,
tolong kuatkan aku, Samy memelas dalam hati.
“Kalau
kita bertemu lagi, bagaimana, Sam?” Sena bertanya datar.
“Anggap saja itu bonus, Sen,” Samy memaksakan untuk melukis lengkungan senyum di bibirnya, “selama kita tidak sengaja untuk saling mencari.”
“Sam,...” Sena meraih lengan Samy untuk terakhir kali. “Terimakasih untuk semuanya. Terimakasih untuk kebersamaan selama setahun terakhir ini. Aku
iri dengan dia yang akan jadi teman hidupmu nanti,... setelah aku pergi.” Sena
memperbaiki posisi ranselnya. Sepuluh menit lagi kereta menuju Jakarta segera berangkat. “Aku tidak
akan mencarimu, kecuali kalau kita bertemu lagi.
Kita memang harus menjauh.”
“Terimakasih juga buat semuanya, Sen,” Samy menurunkan lengan Samy yang
mengusap rambut pendek sebahunya. “Good bye.”
Sena membeku sempurna saat Samy mengusap sudut mata di wajahnya. "Kamu jelek kalau nangis, Sen."
Sena membeku sempurna saat Samy mengusap sudut mata di wajahnya. "Kamu jelek kalau nangis, Sen."
Lima menit kemudian
“Jaga dirimu baik-baik, Sam,” Sena menatap
punggung Samy yang berjalan
terus tanpa menoleh lagi, perlahan mengecil jadi titik hitam. Suara peluit di peron memberi aba-aba kereta segera berangkat.
Samy memenuhi janjinya untuk tidak menoleh, menyudahi semua cerita. Sena memejamkan mata, memilih tidur dan membiarkan telinganya dijejali ear phone setelah sembarang memilih gelombang
radio.
mau dikatakan apa lagi kita tak akan pernah
satu
engkau di sana, aku di
sini mesti hatiku memilihmu
Kehidupan manusia beraneka ragam. Cinta bisa membahagiakan namun kadang membuat orang merana.
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
Iya Pakde, tapi pasti ada pelajaran dari setiap peristiwa yang kita alami, ya.
DeleteAq mewek, melting, all the butterflies feel like come again and flying in my stomach, ,
ReplyDeleteMy goodness, , it's so touchy, ,
I cant stand to stop teardrop from my eyes. ..
Miss you so much Na, .:(
Yaah kok endingnya misah gitu Teteeeh... :(
ReplyDeleteBased n tre story, Mi. Tapi bukan pengalamanku, cerita temen nih, dia pengen dibuat jadi cerpen dan minta beberapa poin buat di ceritanya. :)
DeleteBased on true story. #typo :D
Deletekelihatannya pelik kalau jatuh cinta sama yang beda agama, ya
ReplyDeleteIya, Mak Chi, Konflik batinnya rumit, belum lagi reaksi teman dan keluarga, ya.
Deletewah.. endingnya diluar perkiraan
ReplyDeleteiya, ya. Tapi ini cerita nyata lho :) Yang jelas bukan pengalaman saya hehe
Deleteluar biasa ending yang gabisa ditebak kaya film korea , film indonesia kan gampang liat ending :D
ReplyDeleteEh tapi saya baru sekali lihat film korea, lho hihihi. Makasih kalau suka :D
Deleteudah semngat baca tapi kok ujungnya gak menyatu, tapi keren deh.... coba di bikin cerpen aja mbatau novelgitu hehehehe
ReplyDeletesalam kenalmba...
endingnya mengharu biru ya :( mewek deh nih kalo udah jadi novel
ReplyDeleteSedih banget teh ef..... Semoga sang tokoh menemukan seseorang yg lebih spesial dari "Sena", amiin yra
ReplyDelete